BAGAIMANAKAH KITA BERSYUKUR BAGAIMANAKAH KITA BERSYUKUR .

Jumat, 29 April 2011

BAGAIMANAKAH KITA BERSYUKUR



BAGAIMANAKAH KITA BERSYUKUR

Sayyiduth Thoifah Asy Syaikh Abul Qosim Junaid Al Baghdady RA berkata: "Secara umum
orang bersyukur mempunyai kepentingan dan mencari tambahan untuk dirinya, sehingga ia
bersimpuh di sisi Allah SWT atas kepentingan dirinya." Ertinya seorang hamba dikatakan
sempurna dalam bersyukur kepada Allah SWT, jika ia menempatkan dan meletakkan
syukurnya hanya kerana meraih redha Allah Yang Maha Luhur, bukan sebagai balasan atas
nikmat yang datang dari-Nya. Kerana hakikat nikmat adalah murni kebaikan Allah kepadanya
semata. Secara umum orang-orang yang bersyukur kerana alasan, dorongan atau kepentingan
yang sangat tampak jelas dan boleh diindera berhenti dan condong serta tergiur pada bahagian
nafsunya, yakni meminta dan meraih tambahan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
firman Allah SWT: "Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi
Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar,
tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan
untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" [QS. Al
anfal: 17].



Ditinjau dari asbabun nuzul, ayat di atas ditujukan kepada Bani Israil, akan tetapi yang menjadi
ukuran adalah keumuman penyuntingan bukan kekhushusan latar
belakang turunnya ayat. Sehingga maksud ayat di atas itu umum, yaitu jika kalian bersyukur,
nescaya Kami tidak akan mengganti kenikmatan yang telah Kami anugerahkan kepada kalian,
berupa keselamatan, kemenangan, membinasakan musuh-musuh Kami dan
kenikmatan-kenikmatan lain yang tidak bisa dihitung jumlahnya. Dan jika kalian membalas
kenikmatan tersebut dengan keimanan, kebaktian dan keta'atan, nescaya Kami akan terus
menambahkan nikmat-nikmat kepada kalian. Demikian juga sebaliknya,
jika kalian mengingkari
nikmat-nikmat, nescaya siksa Kami sangat pedih.
Sayyiduna Sayyiduth Thoifah Asy Syaikh Abul Qosim Junaid Al Baghdady RA juga berkata:
"Syukur adalah jika engkau tidak melihat dan merasa bahawa dirimu berhak mendapatkan
suatu nikmat." Maksud ungkapan ini adalah seorang hamba selalu dan senantiasa menjaga
kemuliaan dan melaksanakan adab, kerana jika ia tidak melihat dan merasa bahawa dirinya
berhak pada suatu nikmat, akan tetapi ia melihat dan merasakan bahwa suatu nikmat
merupakan anugerah dan kebaikan yang murni dari Allah SWT, maka ia akan merasa malu
kepada Allah jika keberadaan syukur tersebut sebagai balasan atas nikmat-Nya. Sebab ketika
ia menganggap syukur sebagai sebuah kenikmatan (bukan kenikmatan yang awal), maka ia
akan selalu butuh pada syukur yang lain. Sehingga selamanya ia akan terbebas dari perasaan
dan anggapan bahwa dirinya adalah orang yang bersyukur.
Hakikat syukur dikembalikan pada tiga perilaku; menegakkan kewajiban-kewajiban, mengikuti
tuntunan, bimbingan dan suritauladan Baginda Habibillah Rasullullah Muhammad SAW dan me
mperindah akhlak kepada sesama mahluk, sebagaimana
yang telah disabdakan oleh Baginda
Habibillah Rasulullah Muhammad SAW:
"Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada, ikutilah perbuatan jelek dan buruk
dengan kebaikan, dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik dan terpuji"
[H.R. Ahmad dll.].
Tiga perilaku ini merupakan sesuatu yang prinsip. Barang siapa
meninggalkannya, maka ia tidak akan pernah sampai dan disampaikan di sisi Allah SWT.
Dari penjelasan di atas, maka jelaslah, pengakuan seseorang bahwa ia memiliki suatu nikmat
tidaklah sah jika ditinjau dari segi hakikatnya. Yakni, ia menyandarkan suatu nikmat kepada
dirinya, berupa nikmat-nikmat yang hakikatnya merupakan pinjaman dan milik Allah.
Pengakuan sesaorang pada sesuatu yang bukan miliknya itu sangat tidak dibenarkan menurut
syarak, akal sihat, dan harga diri. Kerana segala yang dipinjamkan itu akan dikembalikan
kepada pemiliknya (Allah). Lagi pula semua hak milik yang dikecapi itu akan sirna dan hilang
kerana adanya hak milik yang hakiki (Allah Tuhan semesta alam). Oleh kerana itu, sudah
seharusnya hati seorang hamba selalu merasa butuh, pecah, bodoh, tidak berdaya, rendah,
hina, nista dan terdesak lalu mendekatkan diri (Jawa: kepepet terus mepet) kepada Allah Ta'al
a dalam segala hal.
Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada seseorang yang lebih cemburu dari pada Allah. Oleh
kerananya, Allah mengharamkan
segala yang keji, baik yang lahir maupun yang bathin. Tidak
ada sesaorang yang lebih mencintai untuk dipuji dari pada Allah. Oleh kerananya, Dia memuji
Dzat-Nya sendiri. Dan tidak ada orang yang lebih mencintai untuk menerima alasan dari pada
Allah. Oleh kerananya, Dia menurunkan Al Qur'an dan mengutus para Rosul"
[H.R. Bukhori]. Yang dimaksud cemburu pada hak Allah Ta'ala adalah tercegahnya sesuatu
milik Allah baik itu hak atau sifat untuk diamalkan, disandarkan atau diterapkan pada selain
Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
Allah SWT berfirman:
"Kebesaran dan Keagungan adalah pakaian-Ku (Sifat-Ku) dan Sombong adalah selendang-Ku
(Sifat-Ku), barang siapa merebut kedua sifat tersebut dari-Ku, nescaya Aku akan
membinasakannya."
[H.R. Abu Dawud dll.]
Sayyiduna Asy Syaikh Abu Utsman Al Maghrobi RA berkata: "Syukur adalah mengetahui dan
mengerti serta merasa lemah dan tidak mampu untuk bersyukur." Ertinya, ketika seorang
hamba melihat, mengerti dan merasakan bahwa syukurnya merupakan nikmat yang
dianugerahkan kepadanya, maka ia diperintahkan untuk mensyukuri nikmat tersebut. Dan
syukurnya yang kedua juga merupakan nikmat yang lain, sehingga ia diperintahkan untuk
mensyukurinya, dan seterusnya akan berantai-rantai tidak akan habis dan putus sampai ajal
menghampirinya. Hingga akhirnya ia menjadi lemah dan tidak mampu untuk bersyukur dalam
keadaan apapun. Dalam hal ini Sayyiduna Abu Bakar Ash Shiddiq RA berkata: "Merasa lemah
dan tidak mampu menemukan penemuan adalah hakikat penemuan." Beliau juga berkata:
"Maha Suci Dzat Yang tidak menjadikan jalan untuk berma'rifat kepada-Nya, kecuali dengan
merasa lemah dan tidak mampu untuk berma'rifat kepada-Nya."
Oleh kerananya bukti dan dalil keabsahan ilmu seorang hamba yang disertai dengan
kesungguhan dalam beramal adalah pengakuan dirinya bahwa ia lemah dan tidak mampu
menemukan hakikat Dzat Yang Maha Luhur, sehingga dalam mengetahui dan mengerti pada
Dzat Yang Maha Luhur hanya sebatas pada makna lahir dari Asma-asma dan Sifat-sifat Allah
SWT semata. Dengan landasan itu, maka dapat kita katakan bahwa: "Mensyukuri perbuatan
syukur itu lebih sempurna dari pada syukur itu sendiri."
Untuk lebih jelasnya, lihatlah bahawa syukurmu itu terlaksana kerana taufiq-pertolongan Allah Ta'ala. Dan taufiq-pertolongan itu termasuk nikmat yang paling agung, sehingga engkau mensyukuri perbuatan syukur, lalu engkau mensyukuri pada syukur atas perbuatan syukur, dan seterusnya sampai tidak ada batas dan selesainya serta tidak ada kemampuan
baginya untuk memenuhinya.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar